Review Buku Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan


Oleh Aisy*

Tidak akan pernah habis pembahasan tentang perempuan dan segala hal yang menaunginya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hidup kita tidak akan pernah mampu lepas dari peran seorang perempuan di dalamnya. Islam hadir untuk menjujung martabat dan kemuliaannya di hadapan laki-laki. Sebaik-baik perempuan tentu adalah perempuan shalihah, mereka yang mampu menjadi pembuka surga bagi kedua orang tuanya ketika masih menjadi anak, pemberat amaliyah suaminya ketika menjadi istri dan pembawa keridhoan surga tatkala menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya.

Buku ini memangkas habis segala alibi irasional bangsa Barat yang menyatakan perempuan dihinakan dalam Islam. Bahkan Islam sangat menjujung emansipasi bagi muslimah dalam tatanan sesuai syari'at. Tidak ada yang berubah sejak Al-Qur'an turun dan Rasulullah menerapkan hukum Allah dalam kehidupan bersama perempuan.

Hidup perempuan justru lebih berharga dibanding permata dalam setiap peran yang diterimanya. Perempuan dimuliakan sebagai anak gadis dari ayahnya yang boleh memilih pasangan hidup sekehendak dirinya. Tidak boleh ada paksaan atas penentu hidupnya bersama suami, bahkan jika itu adalah ayahnya. Rasul pun melarang seorang wali yang menikahkan paksa anak gadisnya dengan lelaki yang tidak mereka suka.

Jika sebagai seorang gadis saja Islam begitu menjunjung hak dan martabatnya, maka ketika menjadi istri dan seorang ibu, perempuan akan mendapatkan lebih daripadanya. Setiap istri tetaplah berpegang pada hak-haknya sebagai istri, kepribadiannya tiada boleh diganti bahkan atas nama suami. Islam melarang adanya penisbatan nama karena jejak seorang wali bagi seorang perempuan sangatlah berarti. Bukankah Bunda Khadijah tetap bernasab Khuwailid dan tidak berubah menjadi Khadijah Muhammad? Aisyah binti Abu Bakar tetaplah membawa nama ayahnya meski Rasul telah meminangnya bahkan ketika usianya masih belia. Hal ini pula yang dilakukan Buya Hamka ketika ada seseorang yang bertanya perihal nama istrinya yang tidak disambungkan dengan namanya. Buya menolak tegas, baginya istrinya tetaplah memiliki hak atas dirinya meski kini telah bersuamikan Buya.

Tidak berhenti sampai di situ, Islam mengatur jelas kehormatan perempuan terutama ketika dia menjadi seorang Ibu. Sosok yang penuh kelembutan dan kasih sayang yang bahkan keridhoan atas anaknya tiada mampu tergantikan. Disebutkan tiga kali namanya di atas nama ayah bagi seorang anak. Tiada sah jihad seorang anak apabila masih ada ibu yang masih hidup di rumah. Rasulullah memberikan tahta tertinggi pada perempuan manakala dirinya telah menjadi seorang ibu. Bahkan bagi seorang anak setetes darah yang keluar dari tubuhnya saat melahirkan, tidak akan pernah mampu digantikan dengan sebongkah berlian. Maka sudah selayaknya perannya sangat dihormati dan dimuliakan karena darinya lahir sebuah generasi peradaban.

Islam mengatur setiap sudut hidup perempuan dengan komprehensif. Segala perihal perwalian hingga hak waris telah dikupas tuntas dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Maka jika sampai saat ini para kaum feminis menyuarakan penindasan atas nama perempuan dan meminta kesetaraan gender diberlakukan. Pada hakikatnya mereka belum memahami bahwa fitrah laki-laki dan perempuan itu tidak bisa disamakan. Tugas seorang perempuan tidak sama dengan laki-laki karena kondisi fisik dan psikis yang jauh berbeda. Maka sesungguhnya kita pun memiliki hak dan kewajiban yang sama hanya saja dengan peranan yang berbeda. Sesuatu yang adil bukan berarti sama, tetapi pas sesuai porsinya dan tentu Allah sebagai Sang Maha Pencipta telah berlaku adil pada peran-peran setiap hamba yang diciptakan-Nya.

Posting Komentar